Langsung ke konten utama

Kisah Pohon



Ini adalah kisah tentang aku. Yang terdiam pasif menunggu ajal. Leluhurku mendahuluiku. Teman-teman ku, sebagian dari mereka bernasib sama dengan ku dan sebagian lagi entahlah. Kalian juga tahu mereka kemana. Tenang, kali ini aku tidak menyalahkan mu.  Generasi ku, ya mereka akan bernasib sama dengan kisah-kisah kami yang seperti itu. Tidak ada yang mampu merubahnya. Keputus asaan selalu terwariskan dengan pilu.
Semua hanya memeras ku. Mentang-mentang aku bisu, kalian mengacuhkan ku. Aku ingin didengar seperti kalian ingin didengar. Dimengerti seperti kalian yang ingin dimengerti. Pahamkah kalian dengan itu semua ? Ah, benar aku lupa. Kalian memang buta dan tuli. Kali ini aku berkata jujur.
Kalian membiarkan aku terbakar, mati kelaparan, kehausan, dan tak memiliki tempat tinggal. Berapa hektar yang kalian sisakan agar aku mampu bertahan hidup ? tidak ada kan. Dirikan saja gedung sesuai kehendak mu, acuhkan aku yang selalu menyediakan oksigen untukmu bernafas. Biarkan aku musnah dan kau mati sesak. Adil bukan. Kamu membunuhku, dan aku membunuh mu secara perlahan.
Racuni saja setiap sudut udara mu dengan asap-asap yang tak mampu ku hisap. Silahkan, aku tidak akan melarang.  Bahkan kau tahu aku bisu. Keserakahan mu menikammu. Sadarkah wahai kamu ? Ah, sekali lagi aku lupa. Kalian buta kalian tuli.
Segelintir diantara kamu mendaki rumahku. Kamu tinggalkan sampah-sampah dan mengotorinya. Dimana akal sehat mu. Bandingkan jika kamu jadi aku. Sanggupkah kamu untuk tetap diam dan mengeluh ? Stop, buang saja semua alasan mu. Karena bagimu aku hanya makhluk bisu.
Silahkan saja racuni tanah ku.Sumber makan ku. Tapi jangan salahkan aku jika kelak ada bencana mendatangi mu. Jangan berlari hey. Aku tidak pernah berlari saat kau bunuh. Jangan bersedih, aku pun tidak pernah bersedih saat satu persatu warisan pilu membungkamku. Aku bisu kamu ingat itu. Kamu tahu itu.
Kamu. Makhluk tuhan yang lebih dari sempurna diatas segalanya. Mengatas namakan hak dengan menikam hak. Pantaskah ? Apa daya aku memang tak sempurna dan tak berhak.  
Kamu. Tolong lindungi aku beberapa dekade lagi. Beberapa abad lagi. Aku ingin melihat siapa pasangan hidupmu, berapa anak mu, siapa cucumu. Aku ingin menjadi saksi bisu bahwa kamu pernah ada di muka bumi ini. Aku ingin tetap ada menemani generasi mu hingga batas waktu yang tuhan berikan usai. Kumohon dengarkan aku, lindungi aku. Aku.
Aku tidak menuntut apa pun. Sadarku, aku tak berhak menuntutmu. Aku hanya mengemis padamu. Saat aku yang bisu ini ingin berbicara dengan mu. Biarkan tanah ku subur. Biarkan polusi mu mampu ku hisap dengan seimbang. Ku mohon ini demi rumah mu, demi rumah kita. Demi apa yang akan kita pijak esok hari. Bumi.
Jika kamu tak sanggup. Ya aku tidak memaksa. Silahkan saja. Semuanya biarkan sirna. Mimpi yang ini dan itu, biarkan menjauh pergi. Tunggulah kehancuran dari segala kehancuran. Yang tersisah nanti hanya ingatan aku hanyalah makhluk bisu.
Ketika lapisan ozon menipis, ketika badai dimana-mana, pemanasan global, gunung es mencair, gempa bumi, gunung meletus, tsunami. Silahkan, aku hanya makhluk bisu. Aku bukan apa-apa. Namun, jika nanti terjdi apa-apa. Tolong ingat tulisan ini. Bahwa aku pernah berbicara dengan mu untuk tetap dan memohon untuk melindungi ku.
Bisa apa aku, aku hanya ingin berbicara dengan mu. Tapi aku tahu aku hanyalah makhluk bisu. Tapi kamu, memiliki segalanya yang tak aku miliki.
Sekali lagi, jika nanti terjadi apa-apa. Ingatlah aku pernah berusaha berbicara dengan mu lewat torehan ini.
Catatan terakhir ku :
“Tuhan aku kecewa namun aku bahagia aku berguna”. Terimakasih. Ini kisah ku yang ingin berbicara dengan mu. Kisah pohon.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Postingan pertama. Sebelumnya maaf kalau nantinya bahasa yang saya gunakan terlalu formal atau malah tidak jelas arah dan maksudnya. Mohon dimaklum saja ya. Saya termasuk orang baru di dunia bahasa. Baru nyasar. Nah itu. Tapi ya Inshaallah enjoy-enjoy saja dan terus berusaha menjadi lebih baik lagi. Oke pada postingan pertama ini saya akan menceritakan “kenyasaran” saya ini. Ini adalah keputusan yang saya buat sendiri. Dunia baru untuk saya. Keseharian saya dulu saya habiskan di rumah dan di sekolah. Anak rumahan. Orang tua saya mendidik saya dengan sangat baik. Etika, tatakrama, kesopanan, kerapihan. Ya meskipun hal-hal yang mereka ajarkan belum semuanya nampak pada kepribadian yang saya miliki. Paling tidak apa yang mereka bekali mampu menjadi pondasi bagi saya kedepannya. Back to the topic. Situasi yang saya hadapi kali ini berbeda. Saya ditempatkan pada satu lingkungan yang benar-benar tidak saya sukai. Banyak perokok, tempat yang kurang tertata rapih, kurang dalam ber